Senin, 20 Juli 2015

Saudara Sepupu adalah Bukan Mahram (Haram Berkhalwat)

 
 
Defenisi Saudara Sepupu
 
Saudara Sepupu dalam kamus besar bahasa Indonesia ( KBBI) berarti hubungan kekerabatan antara anak-anak dari  dua orang bersaudara; atau saudara senenek. Atau hubungan kekerabatan antara anak-anak dari dua orang bersaudara atau saudara senenek/ sekakek. Atau  juga anak dari saudara perempuan ayah/ ibu dan anak dr saudara laki-laki ayah/ ibu.
 
Contoh :

Amin dan Fahri bersaudara (kandung, seayah atau seibu). Amin memiliki anak bernama Zuhri dan Fahri memiliki anak bernama Ani, maka hubungan Zuhri dan Ani adalah saudara sepupu.

Jadi, secara ringkas pengertian saudara sepupu adalah saudara senenek dan sekakek, atau saudara hanya sekakek dan atau hanya senenek.
 
Apakah saudara sepupu itu mahram ?
 
Mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi. Dan dalam Islam, Saudara Sepupu itu BUKAN MAHRAM.
 
Siapa Saja Mahram ?
 
Untuk melihat apakah status saudara/i sepupu apakah mahram atau tidak, perlu diketahui bahwa ada dua jenis kemahraman. Pertama, kemahraman yang bersifat abadi dan tidak pernah berubah. Kedua, kemahraman yang bersifat sementara, bisa berubah menjadi tidak mahram.
 
Jenis yang pertama, yaitu yang kemahraman yang bersifat abadi bisa terjadi karena tiga hal. Yaitu hubungan nasab, hubungan karena pernikahan dan persusuan.
Di antara hubungan mahram yang abadi karena nasab adalah hubungan seorang laki-laki dengan:
 
  • Ibunya atau neneknya dan terus ke atas
  • Anak perempuannya dan terus ke cucu perempuannya ke bawah
  • Saudari perempuannya
  • Bibinya dari pihak ayah
  • Bibinya dari pihak ibu
  • Anak wanita dari saudara laki-lakinya
  • Anak wanita dari saudara perempuannya
 
Sedangkan mahram yang abadi karena adanya pernikahan adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan:
 
  • Ibu dari isterinya (mertua wanita)
  • Anak wanita dari isterinya (anak tiri)
  • Isteri dari anak laki-lakinya (menantu peremuan)
  • Isteri dari ayahnya (ibu tiri)
 
Dan mahram yang abadi karena adanya hubungan persususuan adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan:
 
  • Ibu yang menyusuinya
  • Ibu dari wanita yang menyusui (nenek)
  • Ibu dari suami yang isterinya menyusuinya (nenek juga)
  • Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan)
  • Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui
  • Saudara wanita dari ibu yang menyusui.
 
Di luar di luar dari hubungan mahram yang bersifat abadi, masih ada jenis mahram yang kedua, yaitu kemahraman yang tidak abadi. Jadi keharaman untuk terjadinya pernikahan hanya untuk sementara waktu saja, tapi karena keadaan tertentu, keharamannya menjadi hilang berganti menjadi boleh untuk terjadinya pernikahan.
Di antaranya adalah hubungan seorang laki-laki dengan:
 
  • Saudari perempuan isterinya, atau yang dikenal dengan adik/kakak ipar. Bila isteri wafat atau dicerai, maka mantan ipar bisa jadi isteri.
  • Isteri orang lain, hukumnya haram dinikahi. Tetapi bila suaminya wafat atau wanita itu dicerai suaminya dan telah habis iddahnya, maka wanita itu boleh dinikahi
  • Mantan isteri yang ketika cerai dengan metode talak tiga. Hukumnya haram dinikahi, tetapi bila mantan isteri itu pernah menikah dengan laki-laki lain dan telah terjadi dukhul, lalu dicerai suaminya dan telah habis masa iddahnya, hukumnya kembali lagi boleh dinikahi
  • Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
 
Dilihat dari daftar diatas, jelas sekali bahwa saudara sepupu bukan termasuk salah satu ke-mahram-an yang ditetapkan dalam Islam.
 
Boleh menikahi saudara/i sepupu
 
Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:
 
“......dan demikian pula (dihalalkan menikahi) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu...” (QS. Al-Ahzab: 50)
 
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah ditawari untuk menikahi sepupu nya, salah seorang putri Hamzah bin Abdil Muthollib. Namun ketika itu beliau menolak untuk menikahinya dengan alasan Hamzah adalah saudara sesusuannya.
 
Dalam sebuah hadits disebutkan:
 
 
أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أُرِيدَ عَلَى ابْنَةِ حَمْزَةَ، فَقَالَ: إنَّهَا لَا تَحِلُّ لِي، إنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ، وَيَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
 
 
Dalam sebuah kesempatan rasulullah ditawari untik menikahi anak perempaun Hamzah, maka beliau bersabda: “sesungguhnya dia (anak perempuan Hamzah) tidak halal untuk aku nikahi, karena dia anak saudara sesusuan-ku. Dan apa yang diharamkan dari sebab persusuan sama seperti yang diharamkan karena sebab  nasab.” (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Jadi alasan beliau menolah untuk menikahi putri Hamzah bukan karena alasan sepupu, tetapi karena alasan anak dari saudara sesusuan. Karena dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Hamzah dan Rasulullah keduanya pernah disusui oleh Tsuwaibah, salah seorang budak  Abu Lahab.
 
Boleh menikahi anak sepupu
 
Dalam islam, contoh ini jelas terjadi pada kasus pernikahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib dengan Sayyidah Fatihmah binti Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib. Seperti diketahui bahwa Nabi Muhammad dan Ali bin Abi Thalib merupakan saudara sepupu karena kakek mereka satu yakni Abdul Mutthalib. Dan Nabi Muhammad menikahkan putrinya Fatimah dengan Ali. Perbuatan ini menegaskan bolehnya menikahi anak sepupu.
 
Tidak boleh membuka aurat di depan saudara/i sepupu
 
Mengingat saudara/i sepupu itu bukan mahram dan boleh untuk dinikahi, maka seorang laki-laki ataupun perempuan tidak boleh membuka/memperlihatkan auratnya didepan saudara/i sepupunya.
 
Begitu juga tidak boleh membiarkan anak-anak sepupu yang beda jenis kelamin untuk ber-dua-an karena mereka –sekali lagi- bukan mahram dan boleh menikah. Dalam Islam, posisi sepupu sama seperti ajnabi / orang asing bagi saudara sepupu lainnya.
 
Dalam sebuah Hadits disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahrom wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad dari hadits Jabir 3/339. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Gholil jilid 6 no. 1813)
 
Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata:
“Dan khalwat yang diharamkan adalah jika disertai dengan menutup (mengunci) rumah atau kamar atau mobil atau yang semisalnya atau tertutup dari pandangan manusia (khalayak). Inilah khalwat yang terlarang, dan demikianlah para ahli fikh mendefinisikannya.”
 
Apa maksud perkataan Nabi “syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua”?
 
Al-Munawi berkata, “Yaitu syaitan menjadi penengah (orang ketiga) diantara keduanya dengan membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak indah dihadapan mereka berdua, sampai akhirnya syaitanpun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinahan.” (Faidhul Qodir 3/78).
 
As-Syaukani berkata, “Sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita karena demikanlah ia telah diciptakan memiliki kecondongan kepada wanita, demikian juga karena sifat yang telah dimilikinya berupa syahwat untuk menikah. Demikian juga wanita senang kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh karena itu syaitan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu kepada yang lainnya maka terjadilah kemaksiatan.” (Nailul Autor 9/231).
 
Dalam beberapa Hadits lainnya disebutkan :
 
Nabi bersabda,”Janganlah kalian bersendirian dengan wanita”. Maka seorang sahabat Anshar bertanya,”Wahai Rasulullah, meskipun ia laki-laki keluarga dekat suaminya?” Rasulullah menjawab,”Justeru laki-laki keluarga dekat suami itu berbahaya !” (Dari ‘Uqbah ibn ‘Amir, dalam kitab Shahih Bukhari nomor 5232, dalam Shahih Muslim nomor 5674) 
 
Nabi bersabda,”Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita (asing) kecuali bersama mahramnya (dzu mahram)”. Maka seorang sahabat berdiri lantas berkata,”Wahai Rasulullah, bagaimana kalau isteriku sedang keluar rumah untuk berhaji sementara aku harus mengikuti perang ini atau itu”. Rasulullah menjawab,”Kembalilah dari perang dan temani isterimu berhaji”.(Dari Ibn ‘Abbas, dalam kitab Shahih Bukhari nomor 5233).
 
Nabi bersabda,”Janganlah seorang wanita melakukan safar (perjalanan jauh) kecuali bersama mahramnya (dzu mahram), dan janganlah seorang laki-laki bersendirian bersamanya kecuali wanita tersebut ditemani mahramnya (mahram)”. Maka seorang sahabat berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin ikut serta dalam pasukan ini atau itu sementara isteriku ingin berhaji”. Maka Rasulullah menjawab,”Keluarlah bersama isterimu (untuk menemaninya berhaji)”. (Dari Ibn ‘Abbas, dalam kitab Shahih Bukhari nomor 1862)
 
Sumber :

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar